*Permulaan setelah 11 April 2008
Ada kehidupan dan orang baru dalam istana kecil kita
Linsap jadi bagian harimu. Sadarkah satu punggawa kerajaan tak ada?
Bukan hilang. Sebulan sudah istana ditinggalkan tanpa putra mahkota
Dua ratus dua belas waktu berlalu ritual sakral itu, tidakkah ingin percakapan kau tautkan
Demi ikatan yang lalu kau rajut jadi bioroma dalam pentas drama bagi putra mahkota?
Mungkin tak terlintas pikirmu, tapi sungguh matahari disampingmu memulai percakapan itu, tanpa harus putra mahkota meminta.
*Penegasan
Kemanakah matahari yang telah menemanimu,
Yang menghapus dingin menyelimuti hari-harimu
Bukan bisu tanpa suara atau tak mampu berkata
Tidakkah ia ingin berbagi suara dengan langit yang telah
Memberikan hamparannya tuk ia bersinar serta
Ritual timbul tenggelam dibalik punggung langit
Sejatinya saudara ikatankah namanya setelah dengan tulus langit memberi
Kuasa jadi putra mahkota tunggal di istana kecil kita, walau sementara.
Kasihan langit, halaman luasnya disinggahi tanpa ucap kasih matahari,
Pun kau sebagai bulan tak jua luncurkan kata perintah bagi mataharimu.
Istana kecil kita sepi bukan? Sesepi malam tanpa rembulan menemani langit,
Sedang bintang di istana kecil kita diam tanpa makna, ah…. Bintang bungsu langit merindu. Penguasa di istana kecil kita pun tak mampu berkata karena mereka sibuk
Menghapus airmata kehilangan karena langit tak ada di istana kecil kita yang dijunjung.
*Balasan Gusma
Tiga kali pesan terkirim semuat itu balasan dalam satu sinaran
Dengan tidak mengurangi birunya langit matahari bertengger
Bertelekan lembut bersama awan
Ucap kasih berselimut maaf palung hati berkata
Matahari diam karena memamah rembulan, bintang bungsu, penguasa istana kecil kita serta langit pijakan. Sepenggal syukur memancar dari kilau hangatnya
Pada langit matahari memeluk kata dalam remang senja. Memohon restu diberikan pada matahari dan rembulan, menjadi sepasang ciptaan keseimbangan menerangi segala.
Meminta bimbingan langit bagi edarnya.
*Airmata langit
Tak lagi dapat kubungkus airmata dari ngarai istana kecil kita rembulan,
Setelah rukuk kecil matahari torehkan tasbih kebarat pada Tuhan,
Kupungut mozaik magrib, kurajut kebesaran isya’
Aku sadar, kubukan putra mahkota melainkan rakyat jelata di istana sesungguh-Nya
Tapi sungguh senyum matahari, bulan, bintang bungsu, dan penguasa di istana kecil kita linsap hangat dalam pori-pori langit. Elang laut sumatera menguikkan buhul suci pada selat sunda. Disini di kota seribu budaya kumembatik dengan canting lilin madu.
Istana kecil kita menghijau, firdaus menyapa
*Terakhir kata ayat
Dan matahari berjalan ditempat peredarannya *)
Dan rembulan telah ditetapkan manzilahnya *)
Dan masing-masing beredar pada rotasinya *)
Dan langit menjadi jembatan perlintasan bagi keduanya
*) Qs. Yaasiin 38-40
Jogya, 180508
By: Yandigsa
Kemanakah matahari yang telah menemanimu,
Yang menghapus dingin menyelimuti hari-harimu
Bukan bisu tanpa suara atau tak mampu berkata
Tidakkah ia ingin berbagi suara dengan langit yang telah
Memberikan hamparannya tuk ia bersinar serta
Ritual timbul tenggelam dibalik punggung langit
Sejatinya saudara ikatankah namanya setelah dengan tulus langit memberi
Kuasa jadi putra mahkota tunggal di istana kecil kita, walau sementara.
Kasihan langit, halaman luasnya disinggahi tanpa ucap kasih matahari,
Pun kau sebagai bulan tak jua luncurkan kata perintah bagi mataharimu.
Istana kecil kita sepi bukan? Sesepi malam tanpa rembulan menemani langit,
Sedang bintang di istana kecil kita diam tanpa makna, ah…. Bintang bungsu langit merindu. Penguasa di istana kecil kita pun tak mampu berkata karena mereka sibuk
Menghapus airmata kehilangan karena langit tak ada di istana kecil kita yang dijunjung.
*Balasan Gusma
Tiga kali pesan terkirim semuat itu balasan dalam satu sinaran
Dengan tidak mengurangi birunya langit matahari bertengger
Bertelekan lembut bersama awan
Ucap kasih berselimut maaf palung hati berkata
Matahari diam karena memamah rembulan, bintang bungsu, penguasa istana kecil kita serta langit pijakan. Sepenggal syukur memancar dari kilau hangatnya
Pada langit matahari memeluk kata dalam remang senja. Memohon restu diberikan pada matahari dan rembulan, menjadi sepasang ciptaan keseimbangan menerangi segala.
Meminta bimbingan langit bagi edarnya.
*Airmata langit
Tak lagi dapat kubungkus airmata dari ngarai istana kecil kita rembulan,
Setelah rukuk kecil matahari torehkan tasbih kebarat pada Tuhan,
Kupungut mozaik magrib, kurajut kebesaran isya’
Aku sadar, kubukan putra mahkota melainkan rakyat jelata di istana sesungguh-Nya
Tapi sungguh senyum matahari, bulan, bintang bungsu, dan penguasa di istana kecil kita linsap hangat dalam pori-pori langit. Elang laut sumatera menguikkan buhul suci pada selat sunda. Disini di kota seribu budaya kumembatik dengan canting lilin madu.
Istana kecil kita menghijau, firdaus menyapa
*Terakhir kata ayat
Dan matahari berjalan ditempat peredarannya *)
Dan rembulan telah ditetapkan manzilahnya *)
Dan masing-masing beredar pada rotasinya *)
Dan langit menjadi jembatan perlintasan bagi keduanya
*) Qs. Yaasiin 38-40
Jogya, 180508
By: Yandigsa
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 comments:
tQ buat Fosma yang telah bersedia mempublish puisi yang telah saya buat dan atas apresiasinya juga jazakillah, buat temen2 yang lain selamat membaca sajak ini, semoga dapat memberikan komentar yang membangun diri penulis.
Posting Komentar